Rabu, 07 April 2010

PLASENTA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Usaha-usaha menurunkan angka kematian maternal dan angka kematian perinatal masih menjadi prioritas utama program Departemen Kesehatan RI, penyebab utama kematian maternal masih disebabkan oleh tiga hal pokok yaitu perdarahan, pereklamsi/ekiamsi, dan infeksi. Walaupun angka kematian maternal telah menurun dengan meningkatnya pelayanan kesehatan obstetri namun kematian ibu akibat perdarahan masih tetap merupakan faktor utama dalam kematian maternal.

Perdarahan dapat terjadi baik selama kehamilan, persalinan maupun masa nifas. Prognosis dan penatalaksanaan kasus perdarahan selama kehamilan dipengaruhi oleh umur kehamilan, banyaknya perdarahan, keadaan fetus dan sebab dan perdarahan.

Dalam tulisan ini hanya dibahas perdarahan selama kehamilan, setiap perdarahan selama kehamilan harus dianggap sebagai keadaan akut dan senus serta berisiko tinggi karena dapat membahayakan ibu dan janin.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PERDARAHAN PADA TRIMESTER I

Sekitar 20% wanita hamil pernah mengalami perdarahan pada awal kehamilan dan separuhnya mengalami abortus. Abortus ialah ancaman/pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan; sebagai batasan umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat badan anak kurang dari 500 gram. Setiap perdarahan pada awal kehamilan terlebih dahulu harus dipikirkan berasal dari tempat pelekatan plasenta atau permukaan choriodecidua dan dianggap mengancam kelangsungan dan kehamilan. Anamnesis diperlukan dalam mendiagnosis perdarahan pada penyebab perdarahan pada kehamilan trimester I sering sulit ditentukan walaupun telah dilakukan pemeriksaan lengkap. Pemeriksaan dalam dan spekulum hendaknya dilakukan dengan hati-hati terutama jika penyebabnya adalah karsinoma servik. Walaupun insiden karsinoma servik dengan kehamilan sangat jarang yaitu 1 :3000.

Dalam pemeriksaan spekulum dapat dilihat asal perdarahan, perdarahan disebabkan oleh gangguan kehamilan jika darah berasal dari ostium uteri. Pada beberapa wanita hamil dapat terjadi pula perdarahan dalam jumlah sedikit yang disebabkan oleh penembusan villi khorialis ke dalam desidua saat implantasi ovum. Abortus dapat dikatagorikan dan diagnosis banding perdarahan pada awal kehamilan harus selalu dipikirkan.

Pemeriksaan pènunjang yang diperlukan adalah:

1) USG untuk menentukan apakah janin masih hidup

2) Test Kehamilan

3) Fibrinogen pada missed abortion

Terapi sangat tergantung dari banyaknya perdarahan dan kelangsungan hidup hasil konsepsi. Pada abortus iminen penanganannya terdiri atas istirahat baring untuk menambah aliran darah ke uterus dan mengurangi rangsangan mekanis. Fenobarbital 3 x 30 mg atau diazepam 3 x 2 mg dapat diberikan untuk menenangkan pasien. Pemberian hormon atau tokolitik dapat dipertimbangkan bila hasil USG menunjukkan janin masih hidup. Pengeluaran hasil konsepsi diindikasikan pada abortus insipien, abortus inkomplit, missed abortion dan abortus dengan infeksi. Pengosongan uterus dapat ditakukan dengan kuret vakum atau cunam abortus disusul kerokan. Pada kasus dengan perdarahan berat atau syok, resusitasi cairan hendaknya dilakukan terlebih dahulu dengan NaCl atau RL disusul transfusi darah. Setetah syok teratasi dilakukan kuret.

Pada missed abortion bila kadar fibrinogen rendah sebaiknya

dikoteksi terlebih dahulu. Pengeluaran hasil konsepsi dapat diinduksi terlebih dahulu dengan pitosin drip atau dilatasi dengan laminaria. Pengeluaran hasil konsepsi pada abortus infeksi hendaknya dilindungi dengan antibiotika spektrum 1uas. Komplikasi abortus biasanya anemi oleh karena perdarahan, infeksi dan perforasi karena tindakan kuret.

2.2 Perdarahan Pada Trimester II

Perdarahan pada trimester II sering dihubungkan dengan adanya komplikasi lambat dalam kehamilan, seperti partus prematurus imminen, pertumbuhan janin yang terlambat, dan solusio plasenta. Dapat juga perdarahan disebabkan oieh mola

hidatidosa dan inkompetensi sevik. Pemeriksaan obstetri lengkap dan USG perlu dikerjakan pada setiap perdarahan trimester II. Pada USG dapat dipantau pertumbuhan dan keadaan bayi dalam kandungan. Pasien dengan perdarahan trimester II memerlukan pemeriksaan rutin spesialistik, dan karditokografi dapat diindikasikan pada kehamilan trimester III. Penanganan perdarahan yang disebabkan partus prematurus imminen berupa istirahat baring, pemberian tokolitik dan pe-

nanganan terhadap faktor risiko persalinan preterm. Sedangkan pada inkompetensi servik dapat dilakukan pengikatan servik.

2.3 Perdarahan Pada Trimester III (antepartum)

Definisi perdarahan antepartum menurut WHO adalah perdarahan pervagina setelah 29 minggu kehamilan atau lebih. Insidennya ± 3% dan penyebab perdarahan antepartum. Perdarahan yang terjadi umumnya lebih berbahaya dibandingkan perdarahan pada umur kehamilan kurang dari 28 minggu karena biasanya disebabkan faktor plasenta; perdarahan dan plasenta biasanya hebat dan mengganggu sirkulasi O2, CO2 dan nutrisi dari ibu ke janin. Penyebab utama perdarahan antepartum yaitu plasenta previa dan solusio plasenta; penyebab lainnya biasanya berasal dari lesilokat pada vagina/servik. Gambaran khas untuk membedakan plasenta previa dan solusio plasenta. Setiap pasien perdarahan antepartum hams dikelota oleh spesialis. Pemeriksaan dalam merupakan kontra indikasi kecuali dilakukan di kamar operasi dengan perlindungan infus atau tranfusi darah. USG sebagai pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis. Bila plasenta previa dapat disingkirkan dengan pemeriksaan USG dan pemeriksaan dengan spekutum dapat menyingkirkan kelainan tokal pada servik/vagina maka kemuñgkinan sotusio ptasenta harus dipikirkan dan dipersiapkan penanganannya dengan seksama.

2.4 PLASENTA PREVIA

Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum. Dikenal 4 klasifikasi dari plasenta previa:

1) Plasenta previa totalis : - Plasenta menutupi seluruh ostium uteri internum

2) Plasenta previa latralis : - Plasenta menutupi sebagian dan ostium uteri Intenum

3) Plasenta previa marginalis - Tepi plasenta berada tepat pada tepi ostium uteri internum

4) Plasenta letak rendah : - Plasenta berada 3 - 4 cm pada tepi ostium uteri internum

.

2.5 Pengelolaan

Pengelolaan plasenta previa tergantung dari banyaknya perdarahan, umur kehamilan dan derajat plasenta previa. Setiap ibu yang dicurigai plasenta previa hams dikirim ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk transfusi darah dan operasi. Sebelum penderita syok, pasang infus NaCl/RL sebanyak 2 -3 kali jumlah darah yang hilang. Jangan melakukan pemeriksaan dalam atau tampon vagina, karena akan memperbanyak perdarahan dan menyebabkan infeksi. Bila usia kehamilan kurang 37 minggu/TBF <>

Bila umur kehamilan 37 minggu/lebih dan TBF 2500 g maka dilakukan penanganan secara aktif yaitu segera mengakhiri kehamilan, baik secara pervagina/perabdominal. Persalinan pervagina diindikasikan pada plasentaprevia marginalis, plasenta previa letak rendah dan plasenta previa lateralis dengan pembukaan 4 cm/lebih. Pada kasus tersebut bila tidak banyak perdarahan maka dapat dilakukan pemecahan kulit ketuban agar bagian bawah anak dapat masuk pintu atas panggul menekan plasenta yang berdarah. Bila his tidak adekuat dapat diberikan pitosin drip. Namun bila perdarahan tetap ada maka dilakukan seksio sesar.

Persalinan dengan seksio sesar diindikasikan untuk plasenta previa totalis baik janin mati atau hidup, plasenta previa lateralis dimana perbukaan <4>

2.6 SOLUSIO PLASENTA

Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada fundus/korpus uteri sebelum janin lahir Dalam klinik, solusio plasenta dibagi menjadi 3:

a) Ringan Bila perdarahan kurang dan 100 - 200 ml, uterus tidak tegang, terlepasnya plasenta <1/6,>

b) Sedang Bila perdarahan 200 m1 uterus tegang, presyok, gawat janin, pelepasan plasenta 1/4 - 2,3 bagian, fibrinogen 120 - 150 mg %.

c) Berat Bila uterus tegang, syok, janin telah mati, plasenta lepas 2/3 sampai se1uruhnya

Namun demikian, sifat perdarahan pada solusio ptasenta sangat bervariasi. Perdarahan dapat banyak, sedikit atau berulang, perdarahan dapat pula terselubung bahkan dapat juga regresi.Gejala yang kadang ringan menyebabkan kesulitan dalam diagnosis pasti solusio otasenta pada pemeriksaan antenatal. Pemeriksaan USG tidak selalu memberikan gambaran yang jelas. Namun 50% pasien mempunyai tanda dan gejala yang cukup jelas untuk didiagnosis solusio p1asenta. Pasien yang mempunyai risiko mengalami solusio plasenta adalah : primitua, multi-paritas, tali pusat pendek, trauma, hipertensi, pereklamsi/eklamasi, riwayat obstetri jelek, merokok

dan riwayat perdarahan pada trimester I dan II. Hipertensi merupakan penyebab tersering terjadinya solusioplasenta (47%), kemungkinan solusio plasenta pada kehamilan selanjutnya adalah 10%

2.7 Pengelolaan

Setiap pasien yang dicurigai solusio plasenta harus dirujuk ke spesialis karena memerlukan monitoring yang lengkap baik dalam kehamilan maupun persalinan. Bila umur kehamilan <37>

Ø Solusio plasenta ringan maka pengelolaan konservatif meliputi tirah baring, sedatif, mengatasi anemia, monitoring keadaan janin dengan kardiotokografi dan USG serta menunggu persalinan spontan.

Ø Pada solusio plasenta sedang dan berat atau solusio plasenta ringan yang memburuk, jika persalinan diperkirakan <> 6 jam.

Bila umur kehamilan 37 minggu/TBF 2500 g seksio sesar diindikasikan jika persalinan pervagina diperkirakan ber- langsung lama baik pada solusio plasenta ringan, sedang maupun berat. Pasien dengan solusio plasenta sedang/berat, tranfusi

darah atau resusitasi cairan hendaknya dilakukan terlebih dahulu sebelum tindakan obstetri. Ketuban dapat segera dipecah tanpa memperdulikan apakah persalinan pervagina atau perabdominal untuk mengurangi regangan uterus. Komplikasi solusi plasenta pada ibu biasanya berhubungan dengan banyaknya darah yang hilang. gangguan pembekuan darah, infeksi, gagal ginjal akut, perdarahan post partum yang disebabkan atonia uteri atau uterus couvelaire, reaksi transfusi serta syok neurogenikoleh karena kesakitan. Komplikasi pada janin berupa asfiksi, berat bayi lahir rendah, prematuritas dan infeksi. Disamping itu bayi yang lahir hidup dengan riwayat solusio plasenta mempunyai risiko 7 x lebih sering mengalami cerebral palsy yang mungkin disebabkan anoksia dan komplikasi dan syok.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Semua wanita dengan perdarahan pervagina selama kehamilan seyogyanya ditangani oleh spesialis. Peranan USG dalam menunjang diagnosis sangat diperlukan.Pemeriksaan Hb (hemoglobin) harus dilakukan untuk mengetahui beratnya anemi dan perdarahan yang terjadi. Pemeriksaan fibrinogen perlu dilakukan bagi kasus missed abortion dan solusio plasenta.Pemeriksaan spekulum berguna untuk mendeteksi adanya kelainan lokal pada saluran genital bagian bawah. Jika dalam anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang tidak dapat ditentukan diagnosisnya, dan perdarahan minimal maka pasien dapat dikelola sebagai pasien rawat jalan dengan pemeriksaan antenatal biasa. Perdarahan akibat solusio plasenta berhubungan erat dengan angka kematian bayi dan mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi untuk terjadinya prematuritas dan pertumbuhan janin yang terhambat.

KEPUSTAKAAN

Nardho Gunawan. Kebijaksanaan Departemen Kesehatan RI dalam upaya menurunkan kematian maternal. Simposium Kemajuan Pelayanan Obstetri Semarang : l3adan Penerbit UNDIP, 1993; 1-2.

Soejoenoes A. Morbiditas maternal dan perinatal. Pelatihan Gawat Darurat Perinatal. Semarang : Badan Penerbit UNDIP, 1991; 1-4.

Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UNPAD Bandung.

Obstetri Patologi. Bandung: Elstar offset, 1982; 110-27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar